Beranda | Artikel
Menjaga Kebersihan Masjid
Minggu, 21 Oktober 2018

MENJAGA KEBERSIHAN MASJID

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابيٌّ فَبَالَ في طَائِفَةِ الْمَسْجِد، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيْقَ عَلَيْهِ : مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu beliau berkata, “Seorang arab baduwi datang lalu kencing di pojok masjid. Orang-orang menghardiknya namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam melarang mereka (melakukan hal itu). Ketika ia selesai kencing maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan untuk dibawakan seember air lalu menuangkannya (pada tempat yang terkena kencing). [Muttafaqun ‘alaihi].

BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADITS
Beliau adalah Anas bin Mâlik bin an-Nadhar, Abu Hamzah al-Anshâri, al-Khazraji pelayan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam datang ke kota Madinah, Ummu Sulaim bintu Malhan, ibu Anas datang membawa Anas yang masih berusia 10 tahun, lalu ibunya berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ خَادِمُكَ أَنَسٌ ادْعُ اللَّهَ لَهُ قَالَ اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ

Wahai Rasûlullâh! Inilah pembantumu  Anas, mohonkanlah doa untuknya. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam berdoa:Ya Allâh perbanyaklah harta dan anaknya serta berkahilah semua yang Engkau karuniakan kepadanya.  [Muttafaqun ‘alaihi]

Al-Mizzi dalam Tahdzîb al-Kamal, 3/364 menyampaikan riwayat dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang berbunyi: Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma membawaku kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam pada waktu aku kecil lalu berkata: Wahai Rasûlullâh! Doakanlah dia! Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam  berdoa: Ya Allâh perbanyaklah harta dan anak-anaknya danmasukkanlah ia kedalam syurga. Anas berkata: Aku telah mendapatkan keduanya dan aku berharap mendapat yang ketiga.

Anas Radhiyallahu anhu berkata : Demi Allâh sungguh hartaku banyak dan anakku dan cucuku sudah melampaui seratus sekarang ini. [HR Muslim].

Anas Radhiyallahu anhu terus melayani Nabi hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam meninggal dunia dan setelah itu beliau menetap di Madinah lalu pindah ke Bashroh dan menetap serta meninggal disana ada tahun 90 H. [Lihat biografi beliau di al-Isti’aab 1/205, Tadzkiratlu Hufaazh 1/44 dan al-Ishaabah 1/112].

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini dikeluarkan imam al-Bukhâri dalam kitab al-Wudhu bab Tarku an-Nabi wa an-Nas al-A’rabiya hatta faragha Min Baulihi Fil Masjid no. 219 dan 221 dan mengeluarkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu pada no. 220 dengan ada tambahan diakhirnya :

فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ، وَلَمْ تُبْعَثُوْا مَعَسِّرِيْنَ

Sesungguhnya kalian diutus sebagai orang-orang yang mempermudah dan tidak diutus menjadi orang-orang yang membuat susah.

Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah dalam kitab al-Adab, no. 6010 dengan lafazh:

 قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ صَلاَةٍ وَقُمْنَا مَعَهُ، فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ وَهُوَ فِيْ الصَّلاَةِ: اللَّهُمَّ ارْحَمْنِيْ وَمُحَمَّداً، وَلاَ تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَداً، فَلَمَّا سَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْأَعْرَابِيْ: «لَقَدْ حَجَرْتَ وَاسِعاً

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam melaksanakan shalat dan kamipun melaksanakannya bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam. Lalu orang A’rabi tersebut bicara dalam shalatnya: Ya Allâh rahmatilah aku dan Muhammad dan jangan rahmati bersama kami seorangpun. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam salam dari shalatnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada A’rabi tersebut, ‘Sungguh kamu telah jauhkan sesuatu yang luas.’

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih Muslim, no. 284 ada padanya lafazh:

ثُمَّ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ n دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلاَةِ، وَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

Kemudian Rasûlullâh mendoakannya seraya berkata, “Sungguh masjid-masjid ini tidak dilayak untuk (dikotori) kencing dan kotoran sedikitpun. Masjid hanyalah untuk dzikir kepada Allâh, shalat, membaca al-Qur’an.

SYARAH KOSA KATA HADITS
أَعْرَابِيٌّ  :    maksudnya adalah orang yang tinggal menetap di Bâdiyah (daerah pedalaman bukan perkotaan). Penulis kitab al-Qamus al-Muhith mengkhususkan istilah di atass hanya untuk bangsa Arab saja (lihat 1/106). Sedangkan Abu Musa al-Madini dalam kitab ash-Shahabat dari riwayat mursal Sulaimân bin Yasâr Rahimahullah bahwa orang tersebut adalah Dzulkhuwaishirah. Ada Ulama yang menyatakan, dia adalah al-Aqra’ bin Hâbis at-Tamimi dan ada yang menyatakan, Uyainah bin Hishn. Sebenarnya tidak ada urgensi mengetahui siapakah orang tersebut? Karena itu berhubungan dengan sesuatu yang tercela bukan keutamaan dan keistimewaan. Juga tidak ada hubungan dengan hukum syar’i, oleh karena itu imam al-Irâqi rahimahullah dalam Tharhu ats-Tatsrib 2/126 menyatakan, “Aku tidak mengetahui Ulama yang menulis kitab al-Mubhamât yang menyebut nama lelaki tersebut.

طَائِفَةِ الْمَسْجِد : yang dimaksud adalah pojok atau sisi dalam Masjid Nabawi.

فَزَجَرَهُ النَّاسُ : para Sahabat menghardik dan melarangnya.

بِذَنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ: maksudnya ember besar dan tidak dinamakan dzanûb kecuali berisi penuh air. Sehingga kata (مِنْ مَاءٍ) merupakan penjelas dan penegas saja.

فَأُهْرِيْقَ عَلَيْهِ: maksudnya menyiramkannya.

PENGERTIAN UMUM HADITS
Sahabat yang mulia Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menceritakan satu peristiwa tentang kedatangan seorang A’rabi yang umumnya bodoh karena jauh dari perkampungan dan kota, lalu masuk Masjid Nabawi yang memiliki ruangan luas lalu pergi ke pojok masjid untuk kencing. Melihat ini para Sahabat yang ada di masjid dan menghardik dengan keras agar ia tidak kencing di tempat itu. Karena kencing adalah najis sementara masjid wajib disucikan dari semua bentuk najis.  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam yang juga ada waktu itu melarang para Sahabatnya melakukan hal tersebut agar A’rabi tersebut tidak menghentikan kencingnya dan membiarkannya menyelesaikan kencingnya. Setelah selesai kencingnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam meminta kepada para Sahabatnya untuk mengambil seember penuh air dan menyiramkannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam memanggil A’rabi tersebut dan menjelaskan bahwa masjid tidak boleh dikotori oleh kencing atau kotoran (najis), namun harus digunakan untuk shalat,dzikir dan baca al-Qur’an.

Kemudian A’rabi tersebut berdoa, “Ya Allâh! Rahmatilah aku dan Muhammad dan jangan rahmati bersama kami seorangpun!”

A’rabi ini menyatakan demikian karena para Sahabat menghardiknya dengan keras sedangkan nabi Muhammad n berbicara kepadanya dengan tenang dan lemah lembut dan menjelaskan hukum syariat yang membuatnya bahagia.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Umumnya orang A’rab (pedalaman) memiliki sikap kasar dan bodoh terhadap batasan Azza wa Jalla . Dalam hadits yang disampaikan Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu ada contoh tentang sikap ini. Seorang A’rabi masuk ke masjid Nabawi di kota Madinah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para Sahabat Beliau ada di sana. Lalu A’rabi ini pergi ke pojok masjid dan duduk lalu kencing. Tentunya para Sahabat menganggapnya perkara yang sangat besar dan berteriak mencegahnya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam melarang para Sahabat sebagai bentuk kasih sayang kepada orang bodoh ini dan melihat kepada keadaan serta mengajari umatnya untuk menghadap semua masalah dengan hikmah dan lemah lembut. Karena seandainya A’rabi ini berdiri dari kencingnya tentu akan mengotori badan, pakaian dan bagian yang banyak dari masjid serta terkena madharat menghentikan kencingnya. Ketika selesai menunaikan kencingnya dan hilang yang dikhawatirkan dari memerahinya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam   memerintahkan untuk menghilangkan najis kencing dengan menyucikan tempatnya yang terkena kencing. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam perintahkan untuk menyiram satu ember air padanya. Imam Muslim menambahkan dalam meriwayatkan hadits ini, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam memanggil A’rabi tersebut dan berkata kepadanya:

إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلاَةِ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

Kemudian Rasûlullâh mendoakannya seraya berkata, “Sungguh masjid-masjid ini tidak dilayak untuk (dikotori) kencing dan kotoran sedikitpun. Masjid hanyalah untuk dzikir kepada Allâh, shalat, membaca al-Qur’an.

Sedangkan imam al-Bukhâri menambahkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu  memerintah para Sahabat untuk membiarkannya dan berkata:

فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ، وَلَمْ تُبْعَثُوْا مَعَسِّرِيْنَ

Sesungguhnya kalian diutus sebagai orang-orang yang mempermudah dan tidak diutus menjadi orang-orang yang membuat susah. [Tanbîh al-Afhâm, 1/72-73]

Wallâhu a’lam.

FIKIH HADITS

  • Air kencing manusia itu najis. Ini sudah menjadi kesepakatan para Ulama, selain  yang telah perkecualikan oleh syara’ yaitu kencing bayi laki-laki yang belum memakan sesuatu selain air susu ibu (ASI). Untuk ini cukup dibasahi dengan air.
  • Kewajiban menjaga anggota tubuh dari kencing dan membersihkannya.
  • Memberi uzur kepada orang jahil atau orang yang belum mengetahui hukum kemudian mengajarkannya dengan baik sampai ia faham.
  • Orang yang jahil tidak terkena hukuman sampai ia mengetahui dan faham.
  • Ilmu ialah faham sesudah mengetahui. Karena adakalanya seseorang itu mengetahui sesuatu tetapi ia tidak faham maksudnya.
  • Bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang jahil.
  • Mengajarkan orang-orang yang jahil tentang hukum-hukum agama dengan cara yang mudah dimengerti dan difahami oleh mereka.
  • Kelembutan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam mengajarkan orang-orang yang bodoh dan kemulian akhlak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam .
  • Kesabaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam menghadapi orang-orang yang bodoh.
  • Kaidah ushul fiqh:

إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَراً بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

Apabila dua mudharat (bahaya) saling bertentangan (artinya bila ada dua mafsadat dan salah satunya harus dikerjakan), maka dilihat yang paling besar bahayanya dengan mengerjakan yang lebih kecil dari dua bahaya tersebut.

Ketika orang pedalaman (A’rabi) itu kencing di salah satu bagian masjid maka itu satu bahaya, akan tetapi lebih besar lagi bahayanya kalau orang yang sedang kencing itu langsung dicegah atau distop! Diantara bahaya yang lebih besar kalau dibandingkan membiarkannya kencing sampai selesai ialah:

    • Pertama. Akan menyakitkan orang itu dan membahayakannya bila memutus dan menahan kencingnya.
    • Kedua. Air kencingnya akan mengotori pakaian dan tubuhnya
    • Ketiga. Air kencingnya juga akan mengotori tempat-tempat lain di masjid tersebut dan bisa lebih luas, sehingga menyulitkan untuk mengetahui tempat yang terkena najis.
    • Keempat. Akan memberatkan orang itu, padahal agama Islam itu mudah dan memberikan kemudahan kepada manusia.
    • Kelima. Membuka pintu bagi orang tersebut untuk membenci Islam dan kaum Muslimin serta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam .
    • Keenam. Da’wah dan ilmu akan terputus
    • Ketujuh. Membiarkan orang-orang yang bodoh tetap dalam kebodohannya tanpa pengajaran yang baik kecuali bentakan dan hardikan.
    • Kedelapan. Menimbulkan kekerasan tanpa sebab yang dibenarkan oleh agama.
    • Kesembilan. Kehilangan kesabaran dan kelembutan dalam da’wah.
    • Kesepuluh. Membuat umat manusia akan menjauhi Islam.
    • Kesebelas. Tertutup bagi manusia untuk melihat akhlak Islam dan akhlak Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa salam.
  • Kaidah Ushul dalam mencegah atau melarang kemungkaran. Para Ulama telah menjelaskan bahwa dalam melarang atau mencegah kemungkaran ada empat tingkatan:
    • Pertama. Hilangnya kemungkaran. Inilah yang diperintahkan dan menjadi maksud atau tujuan dari melarang kemungkaran.
    • Kedua. Memperkecil kemungkaran yang terjadi. Ini juga termasuk yang diperintahkan dan masuk dalam tujuan mencegah kemungkaran.
    • Ketiga. Timbul kemungkaran yang sama atau sebanding dengannya. Ini masih diperselisihkan oleh para Ulama tentang boleh atau tidaknya.
    • Keempat. Timbul kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran yang pertama. Untuk yang seperti ini, para Ulama sepakat tentang haramnya mencegah kemungkaran yang pertama karena akibatnya akan timbul kemungkaran yang lebih besar yang pada hakikatnya orang yang mencegah kemungkaran yang pertama itu telah membuat kemungkaran kedua yang lebih besar. Kalau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam membiarkan para Sahabatnya langsung mencegah Arab pedalaman yang sedang kencing tentu akan timbul kemungkaran yang lebih besar.

Apabila kemungkaran tidak hilang kecuali dengan munculnya kemungkaran yang lebih besar, maka tidak diingkari, namun dibiarkan hingga diingkari kemudian. Dasarnya adalah perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits ini yang melarang sahabat untuk memutus dan menahan kencing A’rabi tersebut, karena banyaknya madharat yang muncul dari pengingkaran tersebut.

  • Berda’wah itu harus dengan ilmu.
  • Seorang da’i harus mengetahui keadaan orang yang akan ia da’wahi.
  • Islam itu adalah agama yang mudah dan memberikan kemudahan-kemudahan kepada manusia.
  • Larangan mempersulit dan memberatkan manusia dalam beragama.
  • Masjid harus bersih dan suci dari najis dan kotoran.
  • Para Sahabat diutus oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk menyampaikan da’wah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam .
  • Orang yang bodoh tidak disamakan dengan orang yang tahu dalam memberikan teguran.
  • Dihukumi sama dengan orang pedalaman ini semua orang yang tidak pernah menghadiri majlis ilmu dan berjumpa para Ulama dan tidak belajar agama.
  • Kewajiban segera mengingkari kemungkaran, karena Sahabat bersegera mengingkari dan menghardiknya dengan keras. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak mengingkari bersegeranya mereka namun menahan mereka dari mengingkarinya karena madharatnya lebih besar daripada manfaatnya.
  • Kesucian tempat menjadi syarat sah shalat, karena masjid adalah tempat shalat. Seandainya ini bukan syarat tentunya Rasûlullâh tidak memerintahkan untukmenyiramkan air pada bekas kencing tersebut
  • Dilarang membuang najis ke dalam masjid, demikian juga sampah.
  • Kewajiban memperhatikan masjid, memuliakan dan membersihkannya dari semua kotoran. Hal ini diambil dari larangan para Sahabat dan segeranya mereka mengingkari A’rabi tersebut. Seandainya hal itu bukanlah satu kemungkaran tentulah mereka tidak mengingkarinya. Namun mereka tidak memandang   jauh akibat larangan tersebut, sehingga dicegah oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .
  • Membersihkan atau menghilangkan najis dengan air.
  • Dalam hadits yang mulia ini ada hardikan para Sahabat kepada A’rabi, persetujuan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam atas perbuatan Sahabat dan pengingkaran Beliau terhadap A’rabi setelah selesai dari kencingnya – sebagaimana ada dalam riwayat imam Muslim-. Perkara yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ingkari dari para Sahabat adalah keras dan kasarnya sikap mereka dalam mengingkarinya yang dapat menimbulkan kerusakan dan mafsadat yang banyak.
  • Hadits menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar yang telah menjadi kesepakatan para Ulama Umat ini. Ibnu Hazm Az-Zhahiri, beliau berkata, “Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”.[Lihat al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19]

Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9907-menjaga-kebersihan-masjid.html